Bismillah,
Dalam buku “Dari Perbendaharaan
Lama”, Buya HAMKA menunjukkan dua hal
penting secara umum: pertama bahwa masuknya Islam ke bumi Melayu-Nusantara ini
sudah lebih dahulu daripada pendapat umum sejarawan bahwa Islam masuk ke dunia
Melayu-Nusantara pada abad ke 12 Masehi, ditandai dengan bukti Batu Nisan
Fatimah. Hal kedua yang dikemukakan HAMKA adalah bahwa pada masa lampau Islam
mengakar dengan cukup kuat di dalam benak masyarakat Melayu-Nusantara. Bahkan
tidak hanya itu, perjuangan mengusir penjajah dalam tulisan ini didasarkan kepada
semangat keagamaan (Islam) hingga membuahkan hasil kemerdekaan Republik
Indonesia. Tentu saja hal ini berseberangan dengan pendapat para sejarawan
Indonesia secara umum.
"Wahabi" di mata Buya
HAMKA:
Belakangan nama Wahabi sering
dijadikan sebagai sasaran berbagai tuduhan dan cap negatif. Bahkan banyak tokoh-tokoh
Islam ikut serta menghujat Wahabi. Buku-buku berisi propaganda menjatuhkan
Wahabi pun beredar di mana-mana. Parahnya adalah orang-orang awam yang
sebenarnya tidak tau sama sekali tentang Wahabi pun jadi ikut menjelekkan.
Segala sesuatu yang tidak biasa, sunnah yang terlihat asing, akan langsung
dicap sebagai Wahabi.
Terlepas dari itu semua, terlepas
dari benar-tidaknya istilah Wahabi, mungkin akan menarik untuk melihat Wahabi
dari sudut pandang yang berbeda, dari sudut pandang seorang tokoh Islam yang
kharismatik dan banyak dikenal, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang
biasa disapa dengan Buya HAMKA. Dalam bukunya "Dari Perbendaharaan
Lama", Prof. Dr. HAMKA menyebutkan kenyataan bahwa nama Wahabi memang
sudah sejak dulu digunakan sebagai alat propaganda untuk berbagai tujuan,
termasuk sebagai alat politik dan juga senjata untuk mematikan semangat umat
Islam yang ingin kembali kepada tauhid murni serta melawan penjajahan. Kalau
kita lihat, banyak pejuang-pejuang Indonesia dahulu yang terilhami oleh Wahabi
dalam melawan penjajahan. Salah satu contohnya adalah Tuanku Imam Bonjol.
Bahkan, Ir. Soekarno dalam surat-menyuratnya dengan A. Hasan (PERSIS) terlihat
mengagumi ajaran dan semangat Wahabi dalam melawan penjajahan serta keluar dari
kejumudan dalam ber-Islam.
Berikut kutipan “WAHABI’ Menurut
Persepsi Buya Hamka,
""
Ketika terjadi Pemilihan Umum, orang menyebut-nyebut kembali hal yang telah lalu sebagai alat kampanye, yaitu nama “Wahabi”. Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, karena itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah ikut-serta pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu pernah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini berasal dari keturunan kaum Wahabi. Memang sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia.
Kerajaan Turki yang sedang berkuasa takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya akibat serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan membukakan mata penduduknya untuk menentang penjajahan. Karena paham Wahabi meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Disebabkan hal itu timbullah perasaan bahwa tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah. Wahabi menentang keras sikap Jumud, yaitu kebekuan dalam memahami agama. Orang harus kembali kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits. Ajaran ini timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di Eropa.
Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan Bagus”, beberapa orang penganut paham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka meneruskan juga penyiaran pahamnya di Cirebon, Banten dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik karena sudah jelas anti terhadap penjajahan. Sunan Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup tahu apa akibatnya bagi penjajahannya jika paham Wahabi ini dikenal oleh rakyat. Padahal ketika itu usaha memperkokoh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi saran kepada Sunan supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkap dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda, mereka pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun kemudian, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau : Haji Miskin Pandai Sikat (Agam), Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar). Mereka menyiarkan ajarannya di Luhak Agam (Bukittinggi) dan memperoleh banyak murid serta pengikut. Di antara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang, Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan tersebut meluas dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka melawan penjajahan Belanda. Bilamana pada abad kedelapan belas dan sembilan belas gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, yang kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda”. Di Jawa datanglah KH A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. KH A. Dahlan mendirikan “Muhammadiyah”. Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru di kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Ar-Rabithah Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu kemari adalah dari kalangan yang kemudian membentuk Ar-Rabithah Adawiyah. Musuhnya dari kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir.
Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku untuk “mengafirkan” Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri paham ini adalah keturunan Musailamah Al Kadzab! Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hanbali, tetapi paham itu juga dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagaimana kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagaimana kaum Wahabi di India.
Sekarang “Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam di Indonesia yang bukannya surut ke belakang, tapi justru kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu saat ini, yang mereka benci bukan lagi AJARAN Wahabi, melainkan NAMA Wahabi. Ir. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya terlihat bahwa pahamnya dalam ber-Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi. Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan membangkitkan nama Wahabi.
Padahal ketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja
Wahabi Ibnu Sa'ud, yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah, umat
Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan
selamat atas kemenangan itu (1925), sampai mengutus dua orang pemimpin Islam
dari Jawa ke Mekkah, yaitu HOS Cokroaminoto dan KH Mas Mansur. Dan Haji Agus
Salim datang lagi ke Mekkah tahun 1927. Karena tahun 1925 dan tahun 1926
itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, maka masih banyak orang yang
dapat mengenang bagaimana hebatnya reaksi pada waktu itu, termasuk dari
pemerintah penjajahan, walau dari Umat Islam sendiri ada yang ikut benci kepada
Wahabi karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut
Syarif. Sekarang pemilihan umum yang
pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan
membusuk-busukkannya akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan
datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga
gambar-gambar “Figur Nasional” seperti Tuanku Imam Bonjol dan KH A. Dahlan
diturunkan dari dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata
kemasukan paham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain
diminta supaya dibubarkan saja. Kepada orang-orang yang
mengungkit-ungkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari Sumatera yang datang
memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan kaum
Wahabi. kepada mereka, orang-orang dari Sumatera itu mengucapkan banyak-banyak
terima kasih! Sebab kepada mereka diberikan kehormatan yang begitu besar! Sungguh pun demikian, paham Wahabi
bukanlah paham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak.
Dan masih banyak yang tidak menganut paham ini di kalangan Masyumi. Tetapi
pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti
kepada segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka
bersama!
""
---
Dikutip dari eBook "Dari
Perbendaharaan Lama" oleh Prof. Dr. HAMKA. Penerbit Pustaka Panji Mas,
Jakarta, 1982.
Ditulis ulang dengan dialeg dan teks yang memudahkan untuk di
persepsikan.
Sumber:
1. http://www.goodreads.com/ : http://www.goodreads.com/book/show/6315653-dari-perbendaharaan-lama#
3. "Dari Perbendaharaan Lama" oleh Prof. Dr. HAMKA. Penerbit Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1982.