Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol
dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,
sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang
yang berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri. Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Tuanku Imam Bonjol |
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan
seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan
mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di
Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama
aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun.
Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol
belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam
Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi
kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama
turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran
agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran
agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan
dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku
Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara
Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu
dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun
1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama
dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses
dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu
dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan
Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh
sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu
Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum
Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai
dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian
ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum
Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda,
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan
adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang
mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol
oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan
tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai
suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut
Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di
sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837,
Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke
Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan
dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada
tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
0 Komentar