Hari kelulusan masih menjadi moment untuk hura hura sesaat.
Semua pelajar berbondong bondong mencorat coret bajunya lalu melakukan konvoi.
Yang lebih gila lagi mereka banyak melanggar aturan lalu lintas. Meski sudah
banyak larangan dari kepolisian mengenai konvoi saat hari kelulusan, nyatanya
tiap tahun konvoi ini menjadi tradisi.
Karena dilarang untuk melakukan konvoi di jalan raya atau
jalan jalan protocol utama, para siswa ini lebih meresahkan saat mereka konvoi
melalui jalan jalan desa. Jumlah yang banyak dan tak jarang knalpot mereka yang
bising menambah keresahan warga. Bayangkan saja jika jumlah mereka puluhan bahkan
ratusan melintas di jalan jalan desa yang tidak terlalu lebar.
Baik memang jika pihak kepolisian melarang mereka untuk
melakukan konvoi di jalan raya, tapi tidak berarti mereka konvoi di jalan jalan
desa. Dari pihak sekolah juga sudah mengupayakan pencegahan agar anak didiknya
tidak melakukan corat coret, konvoi dan hura hura. Namun sayangnya semua
larangan itu hanya sebatas omong kosong belaka. Kenapa demikian? Tidak adanya
sanksi yang tegas membuat para pelajar ini tak merasa takut.
Setiap tahun pihak sekolah selalu menghimbau anak didiknya
untuk menyumbangkan seragam yang dimiliki dari pada di corat coret. Nyatanya
para siswa lebih memilih mencorat coret seragamnya dibanding untuk di
sumbangkan. Alasannya klasik, mereka selalu mengatakan bahwa baju mereka yang
sudah di warna dan di tanda tangani oleh teman teman akan disimpan sebagai
kenang kenangan. Yang benar saja, lalu apa manfaatnya? Jelas tidak ada.
Hari kelulusan memang seperti menjadi hari hura hura, bebas
melakukan apa saja, mungkin juga “pesta narkoba”. Tapi kita jangan berpikiran
buruk, walaupun banyak siswa yang rela melepas jilbabnya demi lebih leluasa
untuk berhura hura namun saya yakin pasti jarang ada yang berpesta, apalagi
sudah jelas jelas di larang. Yang lebih mengkhawatirkan jika mereka pesta
narkoba, mau jadi apa mereka nantinya?
Kesenangan sesaat yang mereka lakukan ini benar benar tidak
bermanfaat. Yang perlu di tandai adalah apa yang akan mereka lakukan setelah
lulus? Jika budaya kita masih buruk dan sikap yang tidak pernah berubah maka
para lulusan ini hanya akan menjadi beban negara sebab mereka hanya akan
menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Ditambah lagi mereka hanya akan memperoleh ijazah, ilmu yang
mereka dapat dari pendidikan hanya akan bertahan paling lama satu bulan, itu
saja karena untuk ikut tes SBMPTN atau seleksi MANDIRI selebihnya Nol besar.
Sistem pendidikan di Indonesia masih hitam di atas putih,
jadi hanya angka mereka yang di perhitungkan padahal mereka tidak memiliki
kemampuan apa apa. Yang lebih menyedihkan adalah para siswa SMK yang sudah
mengambil program kejuruannya selama 3 tahun tapi hanya berapa persen saja
mereka bisa menyerap ilmu kejuruan mereka.
Lalu kemana arah dan tujuan hidup mereka?
Bagi para siswa yang memiliki kemampuan ekonomi lebih mereka
tak perlu berpikir ulang sebab mereka pasti bisa melanjutkan kuliah. Bagi siswa
yang ekonominya kurang namun memiliki prestasi akademik maka mereka dapat
mengambil beasiswa yang telah disediakan oleh pemerintah. Tapi bagi siswa yang
kemampuan akademisnya rendah dan ekonominya rendah, mau apa mereka setelah hura
hura?
Mungkin mereka pikir dengan corat coret dan hura hura dapat
menentukan jalan hidup mereka kedepannya. Perlu digaris bawahi bahwa kelulusan
bukanlah akhir dari pendidikan, justru ini akan menjadi gerbang utama yang akan
menentukan kehidupan selanjutnya.
Bagi siswa SMP maka mereka akan menentukan sekolah mana yang
akan mereka pilih, apakah SMA, SMK, MA, MAK, atau mungkin mereka sudah gugur
sejak awal untuk melanjutkan sekolah. Bagi lulusan SMA sederajat ini akan
menjadi pilihan yang lebih sulit sebab walaupun mereka ingin berkuliah namun
tidak semua dari mereka dapat berada di perguruan tinggi.
Banyak pilihan yang harus mereka pilih, apakah kuliah di PTN,
atau mungkin di PTS yang masih mempunyai kualitas atau yang lebih parah mereka
akan masuk dalam perguruan tinggi abal abal. Asalkan mereka punya banyak dana
maka kuliah bisa diatur, yang penting dapat ijazah. Dan di antara pilihan nasib
yang lain, ada yang melamar pekerjaan.
Mereka akan tahu betapa susahnya mencari pekerjaan di negeri
ini. Kesana kemari ditolak, atau jika di terima hanya sebagai OB, Helper,
Security, Sales atau mereka akan masuk ke dalam dunia Industri dimana para
pengusaha membutuhkan tenaga mereka namun jumlahnya tidak banyak. Dan di antara
pilihan terakhir adalah mereka akan mendapat gelar Pengangguran.
Sungguh disayangkan jika kita belum bisa merubah budaya yang
selama ini sudah menjadi tradisi turun temurun walaupun sebenarnya kita semua
tahu bahwa budaya itu sangat buruk dan tidak membawa manfaat. Entah sampai
kapan negara ini melahirkan lulusan lulusan yang hanya dapat berhura hura
dengan kemampuan biasa biasa saja. Apakah kita dapat mengakhiri budaya buruk
ini? Kita lihat saja nasib bangsa ini 10 tahun mendatang.
Sumber :
Khoiril Basyar | “Masih Zaman Lulusan Corat Coret Seragam?” |
Kompasiana