Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


Syaikh al-Utsaimin: Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

بسم الله الرحمن الرحيم

روى البخاري رحمه الله عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر - قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء

Al-‘Allamah al-Faqih az-Zaman 
Asy-Syaikh Abu Abdillah 
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 
-rahimahullahu-
w. 1421H/2001M




  • Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah


Diriwayatkan oleh al-Bukhari -رحمه الله- dari Ibnu 'Abbas -رضي الله عنهما- bahwa Nabi -صلى الله عليه وسلم- bersabda: "Tidak ada hari di mana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu: Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah? Beliau menjawab: Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".



صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, itu akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR Muslim رحمه الله dari Abu Qatadah رضي الله عنه )




  • ADA APA DI BULAN DZULHIJJAH?




Ditulis: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy -Saddadahulloh-
Darul Hadits Dammaj, Yaman -Harosahulloh-

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:

Di dalam bulan Dzulhijjah terdapat hari-hari penting yang terkait dengan syari’at Islam. Selain tiga ibadah yang agung yaitu haji, sholat ‘ied dan penyembelihan kurban, masih ada permasalahan-permasalahan fiqh lain yang terkait dengannya. Beberapa diantaranya –dengan memohon pertolongan Alloh- akan kita singgung dalam tulisan ini.




  • SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH ADALAH HARI-HARI TERBAIK DALAM SETAHUN UNTUK BERAMAL SHOLIH


Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا العَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ

“Tidak ada amalan pada hari-hari (dalam setahun) yang lebih baik dari pada amalan pada hari-hari ini”

Para shohabat berkata: “Tidak juga jihad wahai Rosululloh?”. Beliau menjawab:

وَلاَ الجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

“Tidak juga jihad. Kecuali seorang lelaki yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali dengan apa-apa” (HR Bukhory dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu)

Dalam riwayat lain:

وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا مَنْ عُقِرَ جَوَادُهُ وَأُهْرِيقَ دَمُه

“Tidak juga jihad, kecuali orang yang kudanya dilukai dan darahnya ditumpahkan” (HR Abu ‘Awanah)

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang jihad yang paling ulama, beliau menjawab:

مَنْ عُقِرَ جَوَادُهُ وَأُهْرِيقَ دَمُه

“Orang yang kudanya dilukai dan darahnya ditumpahkan” (HR Ahmad dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu)[1]

Kembali ke hadits Ibnu ‘Abbas di atas, yang dimaksud dengan “hari-hari ini” adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dll:

مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ

“Tidak ada hari-hari yang amalan sholeh padanya lebih Alloh cintai daripada (amalan sholeh) pada hari-hari yang sepuluh ini”

Keutamaan pada hari-hari tersebut berlaku bagi setiap amalan baik amalan hati, perkataan maupun perbuatan. Perkara-perkara mustahab (sunat dalam istilah fiqh –pent) pada hari-hari ini lebih baik daripada perkara-perkara mustahab pada hari-hari yang lain. Perkara-perkara wajib pada hari-hari ini lebih baik daripada perkara-perkara wajib pada hari-hari yang lain. Namun perkara-perkara wajib pada hari-hari yang lain tetap lebih baik daripada perkara-perkara mustahab pada hari-hari ini. [Lihat Fathul Bary karya Ibnu Rojab 9/15-16] Karena amalan-amalan wajib lebih Alloh cintai daripada amalan-amalan yang mustahab. Alloh Ta’ala berkata sebagaimana disampaikan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits Qudsy:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْه

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai kecuali dengan apa-apa yang telah Kuwajibkan baginya” (HR Bukhory dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘Anhu)



  • PUASA ‘AROFAH 9 DZULHIJJAH


Puasa Arofah adalah puasa sunat yang paling utama. Hal itu dikarenakan besarnya keutamaan yang dijanjikan. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang puasa di hari ‘Arofah, maka beliau menjawab:

يكفر السنة الماضية والباقية صحيح

“Menghapuskan kesalahan tahun sebelumnya dan tahun setelahnya” (HR Muslim dari Abu Qotadah Rodhiyallohu ‘Anhu)

Yang dimaksud dengan menghapuskan kesalahan tahun setelahnya: “Orang tersebut diberi taufik untuk tidak melakukan perbuatan dosa, atau jika dia terjatuh ke dalam perbuatan dosa maka dia diberi taufik untuk melakukan perbuatan yang bisa menghapuskannya”. [Subulus Salaam karya Imam Ash-Shon’any 1/581]




  • HARI-HARI MAKAN DAN MINUM 10-13 DZULHIJJAH


Abu Burdah bin Dinar Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya aku telah menyembelih kambingku sebelum sholat (ied –pent). Aku mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum. Aku menyukai kalau kambingku adalah kurban pertama yang disembelih di rumahku, maka aku menyembelih kambingku dan aku sarapan sebelum aku mendatangi sholat. Maka Rosululloh bersabda:

شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

“Kambingmu adalah kambing (tak lebih dari ) sekedar daging (untuk makanan tidak sah sebagai kurban –pen) ”. (HR Bukhory)

Demikian juga dengan tiga hari setelahnya tanggal 11-13 Dzulhijjah yang disebut dengan Hari-hari Tasyrik[2] dan disebut juga dengan Hari-hari Mina karena para jema’ah haji tinggal di sana untuk melontar jumroh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Sallam:

أيام التشريق أيام أكل وشرب

“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum” (HR Muslim dari Nubaisyah Al-Hudzaly)

Dengan lafazh lain:

وأيام منى أيام أكل وشرب

“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum” (HR Muslim dari Ka’ab bin Malik)

Menampakkan kesenangan dan kegembiraan pada hari-hari ini adalah perkara yang diyari’atkan karena hari-hari ‘ied termasuk syi’ar Islam yang mulia dan syi’ar adalah sesuatu yang mesti ditampakkan. Syi’ar ini juga menunjukkan bahwa dalam agama ini terdapat kelonggaran.

Ketika sekelompok orang dari Habasyah (Ethiopia) bermain dengan alat perang mereka di hari ‘ied, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Sallam berkata:

لَتَعْلَمُ يَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسْحَةً، إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ

“Agar orang Yahudi mengetahui bahwa di dalam agama kita terdapat kelonggaran. Sesungguhnya aku diutus dengan sesuatu yang lurus lagi mudah”. (HR Ahmad dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)[3]

Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Dahulu orang-orang jahiliyyah di Madinah memiliki dua hari dalam satu tahun yang mereka melakukan permainan di hari itu. Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi Madinah, beliau berkata:

كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ الله بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dahulu kalian memiliki dua hari yang kalian melakukan permainan padanya. Sungguh Alloh telah menggantikan keduanya bagi kalian dengan sesuatu yang lebih baik yaitu ‘Iedul Adha dan ‘Iedul fithri” (HR An-Nasa’iy dan lainnya)[4]

Al-Maghriby Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa rasa senang, menampakkan kegembiraan dan suka-ria di kedua hari ‘Ied adalah perkara yang dicintai”. [Al-Badrut Tamam 4/44]

Tentunya kegembiraan tersebut diisi dengan perkara-perkara yang mubah dan tidak memberat-beratkan diri.



  • HARI-HARI INI JUGA HARI-HARI MEMPERBANYAK DZIKR


Alloh Ta’ala berfirman:

ِليَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَام

“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Alloh pada hari-hari yang telah dimaklumi atas rezki yang telah Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak” (QS Al-Hajj 28)

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

“Berdzikirlah kepada Alloh pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya” (QS Al-Baqoroh 203)

Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu menafsirkan bahwa: “hari-hari yang telah dimaklumi” adalah sepuluh hari pertama (Dzulhijjah), sementara “hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya” adalah hari-hari Tasyrik. (Diriwayatkan Al-Baihaqy di Syu’abul Iman)[5]

Dalam riwayat lain pada hadits Nubaisyah Al-Hudzali Rodhiyallohu ‘Anhu terdahulu, terdapat tambahan:

وذكر لله

“Dan berdzikir kepada Alloh”. (HR Muslim)

Jadi mulai dari tanggal satu sampai tiga belas Dzulhijjah adalah hari-hari mulia dimana kaum muslimin dianjurkan untuk banyak berdzikir, terlebih pada sepuluh hari pertama karena itu adalah hari-hari yang paling mulia di sisi Alloh.

Diantara hikmah-Nya yang agung, Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya untuk bermain-main saja. Kegembiraan yang terjadi pada hari-hari ‘Ied bukanlah kegembiraan yang kosong dari penghayatan akan keagungan agama ini. Karena perayaan adalah bagian dari agama, Alloh memiliki hikmah dalam menetapkan perkara tersebut –diantaranya yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah di atas-. Tidak mesti ada pertentangan antara kegembiraan di hari-hari tersebut dengan penghambaan kita kepada Alloh, hal itu ditunjukkan dengan disyari’atkannya memperbanyak dzikrulloh pada hari-hari itu.

Singkatnya, hari-hari tersebut bukan untuk makan dan minum saja akan tetapi dibarengi dengan banyak berdzikir kepada Alloh. Kondisi ini jika kita terapkan maka akan mengokohkan keimanan pada hati-hati kita. Kenapa? Karena dengannya kita menyadari bahwa apa-apa yang dikaruniakan bagi kita semuanya adalah karena rahmat-Nya. Dengannya kita sadar bahkan kita hidup bukan untuk bermain-main dan berpesta pora, sehingga kita terjaga dari kelengahan dan kelalaian terhadap perkara akhirat. Karena makanan, minuman, pakaian, dan hiburan merupakan perkara-perkara yang disukai jiwa dan bisa menghanyutkan pemiliknya kepada jalan yang tidak diridhoi-Nya.




  • BOLEHKAH BERPUASA DI HARI-HARI MAKAN DAN MINUM?


Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ، عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari ‘Arofah, hari An-Nahr (‘idul Adha –pen) dan hari hari Tasyrik adalah hari raya kita penganut agama Islam, dan itu adalah hari-hari makan dan minum”, (HR Ahmad, Abu Daud dan selain mereka dari ‘Uqbah bin ‘Amir Rodhiyallohu ‘Anhu).[6]

Masalah keharaman puasa pada hari ‘Iedul Fithri maupun ‘Iedul Adha dalilnya jelas. Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صيام يومين يوم الأضحى، ويوم الفطر

“Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada dua hari, hari (‘Iedul) Adha dan (‘Iedul) Fithri” (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh, ‘Umar dan Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhum)

Sementara untuk hari-hari sisanya (Hari ‘Arofah dan hari-hari Tasyrik) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berdalil dengan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir tersebut sebagai lantasan atas larangan puasa pada hari tasyrik karena merupakan hari ‘ied, namun sebagiannya membantah dengan adanya penyebutan hari ‘Arofah pada hadits tersebut, sementara puasa pada hari ‘Arofah disyari’atkan, maka tidak mesti puasa pada hari Tasyrik juga dilarang.

Untuk meringkas pembahasan dan mempermudah alur pemahaman, kita simak dulu perkataan Imam Ibnu Rojab Rahimahulloh Ta’ala dalam masalah ini, karena perincian yang beliau nukilkan dari jumhur (mayoritas) ulama adalah pendapat terkuat dalam masalah ini wallohu a’lam.[7]

Beliau Rahimahulloh Ta’ala mengatakan: “Terjadi polemik dalam pengarahan hadits ini oleh kebanyakan ulama karena hadits tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arofah adalah hari ‘ied yang tidak boleh puasa sebagaimana diriwayatkan dari sebagian ulama terdahulu. Sebagian ulama membawa larangan (puasa) bagi jemaah haji yang ketika itu sedang wukuf (di pada ‘Arofah) dan ini adalah pendapat yang shohih. Karena pada hari itu merupakan tempat bertemu dan berkumpul yang terbesar bagi mereka (para jema’ah haji) berbeda dengan orang yang tinggal di daerah-daerah (yakni yang tidak melakukan haji –pen) sebab perkumpulan mereka adalah pada hari An-Nahr (‘Idul Adha). Sementara hari-hari tasyrik maka berlaku hukumnya untuk orang-orang yang di daerah-daerah dan para jema’ah haji karena itu adalah hari-hari penyembelihan dan makan-makan hewan kurban mereka. Ini adalah pendapat mayoritas ulama”. [Fathul Bary karya Ibnu Rojab 1/173]

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan: “Yang dimaksud dengan ‘Ied pada hari ‘Arofah adalah ‘ied bagi jema’ah haji, jadi pembahasan larangan puasa pada hari ‘Arofah khusus bagi mereka.

Adapun hari ‘ied pada hari-hari tasyrik berlaku umum bagi jema’ah haji maupun yang tidak, maka larangan puasa pun berlaku umum (kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan sehingga keluar dari larangan tersebut -pent)”.




  • HUKUM PUASA BAGI JAMA’AH HAJI PADA HARI ‘AROFAH


Masalah puasa bagi jema’ah haji di Arofah maka menurut pendapat jumhur larangannya tidak sampai ke derajat haram. Hal ini dikarenakan keutamaan-keutamaan melakukan puasa ‘Arofah berlaku umum bagi kaum muslimin baik yang sedang haji maupun tidak. Inilah cara menggabung hadits ‘Uqbah dengan hadits tentang keutamaan puasa ‘Arofah yang telah lewat.



  • PERSELISIHAN ULAMA TENTANG PUASA DI HARI TASYRIK


Terdapat tiga pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkan, ada yang mengharamkan tanpa kecuali dan ada yang mengharamkan dengan pengecualian.

Adapun pendapat yang pertama –yang membolehkan- maka ini adalah pendapat yang lemah dikarenakan terdapatnya dalil yang tegas dalam masalah ini. Sementara adanya sekalangan salaf yang berpendapat demikian, kemungkinannya dikarenakan dalil-dalil tentang larangan yang tegas tidak sampai kepada mereka. Diantara dalil-dalil tersebut:

Abu Murroh maula Ummi Hani’ datang pada hari Tasyrik bersama ‘Abdulloh bin ‘Amr menemui bapaknya ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhum. Maka beliau menyuguhkan makanan kepada mereka berdua. ‘Abdulloh berkata: “Sesungguhnya saya sedang berpuasa”. Maka ‘Amr mengatakan: “Makanlah. Hari-hari ini adalah hari-hari yang dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk ifthor (makan minum, tidak berpuasa –pent) dan melarang kami untuk berpuasa padanya”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rodhiyallohu ‘Anhu).

Dengan demikian tersisa dua pendapat dan pendapat ketigalah yang lebih kuat. Hal ini dikarenakan adanya dalil tentang pengecualian larangan bagi jema’ah haji tamattu’ (berihrom untuk ‘umroh di bulan-bulan haji, setelah selesai kemudian tinggal di Makkah sampai datangnya waku pelaksanaan haji dengan ihrom yang baru) yang tidak mendapatkan hadyu (hewan ternak yang dibawa jema’ah haji ke Baitul Haram untuk disembelih).

‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar mengatakan: “Tidak ada diberikan keringanan untuk berpuasa di hari tasyrik kecuali bagi jema’ah haji yang tidak mendapatkan hadyu”. (HR Bukhory)

Kemudian dalil yang menunjukkan pengecualian ini adalah firman Alloh Ta’ala:

فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْىِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُم

“Barangsiapa yang melakukan tamattu’ dengan ‘umroh sebelum haji maka dia (wajib) menyembelih hadyu yang mudah didapat. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka dia berpuasa tiga hari di hari-hari haji serta tujuh hari setelah kalian kembali” (QS Al-Baqoroh 196)

Ibnul Qishor Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa ayat ini turun pada hari Tarwiyah, yaitu tanggal delapan Dzulhijjah. Maka diketahui bahwa boleh bagi mereka untuk puasa pada hari-hari tersebut (hari-hari tasyrik) karena yang tersisa dari sepuluh hari pertama dzulhijjah hanya tanggal delapan dan sembilan. Sementara tanggal delapan –hari dimana turun ayat- tidak sah puasa ketika itu karena orang yang tidak punya hady (ketika ayat itu turun –pent) harus berniat puasa sejak malamnya. Adapun tanggal sepuluh maka itu adalah hari An-Nahr (Iedul Adha) tidak boleh puasa padanya menurut ijma’. Sehingga diketahui bahwasanya mereka berpuasa setelah hari itu [Syarh Shohih Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol 4/138]

Di tanggal delapan atau sembilan tersebut masih ada kesempatan bagi orang tersebut untuk mencari hadyu (jika dia memiliki uang untuk itu) karena kewajiban penyembelihan hadyu adalah pada ‘Iedul Adha. Apabila pada penghujung tanggal sembilan dia tidak bisa mendapatnya maka hanya tersisa kemungkinan hari tasyrik untuk puasa yang tiga hari tersebut. [Lihat: Syarh Shohih Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol 4/137-138, Fathul ‘Allam karya Syaikh Muhammad Hizam 719-720]

wallohu a’lamu bish showwab

سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Hadits Shohih sesuai syarat Imam Muslim
[2] Makna Tasyrik adalah pemotong-motongan daging.
[3] Derajatnya hasan
[4] Hadits shohih. Dishohihkan para ulama terdahulu maupun belakangan seperti Ibnu Hajar, Al-Albany, Muhammad Hizam dll
[5] Sanadnya Shohih
[6] Hadits shohih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Dishohihkan para ulama terdahulu maupun belakangan seperti Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Albany dll
[7] Sengaja kita tidak memulai dengan penyebutan rincian perselisihan yang panjang dalam masalah puasa di hari tasyrik untuk menyingkat pembahasan. Insyalloh sebagian poin-poin perselisihan yang penting akan lewat penyebutannya, dan rasanya penjelasan yang diberikan dapat menjawab pendapat-pendapat yang menyelesihinya Wallohu a’lam bish showab.

Sumber: http://islam-itu-mulia.blogspot.co.id/2012/10/syaikh-al-utsaimin-keutamaan-10-hari.html



0 Komentar